Langsung ke konten utama

Tidak Harus Sama


Bun, minta uang untuk infaq,” pinta Reksa sebelum berangkat ke sekolah. Setiap hari Jumat, anak-anak TK diajak belajar berbagi (infaq) di sekolah.
Oh, ya.” Saya masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet. Saya mencari uang lima ribuan, tetapi tidak ada. Saya coba membuka dompet ayah. Berharap menemukan lembaran warna coklat. Ternyata tidak ada juga. Akhirnya, saya mengambil uang dua ribuan tiga lembar. Saya serahkan uang tiga lembar tersebut pada Reksa.

Kok tiga, Bun?” Reksa heran saat menerima uang tersebut.
Iya. Bunda tidak punya uang lima ribuan. Jadi, Mbak infaq dua ribuan tiga, ya.”
Reksa mengamati lembaran uang itu. “Satu aja gapapa, Bun. Temanku kebanyakan infaqnya yang kayak gini. Satu tok.”
Ya, biar saja yang lain satu. Mbak Reksa infaqnya tiga.”
Kok tiga, Bun?” tanya Reksa kebingungan.

Saya diam sejenak. Memikirkan jawaban yang pas atas pertanyaan Reksa.
Mbak kalau dikasih uang banyak seneng nggak?” Saya memulai jawaban dengan membuka pertanyaan terlebih dahulu.
Seneng,” jawab Reksa.
Nah, ayah sama bunda juga seneng karena Tuhan memberi banyak uang pada kita. Biar nggak hanya kita saja yang seneng, bunda ingin Reksa berbagi yang banyak juga sama sekolah. Biar sekolah juga ikut seneng. Kalau nanti ada teman Mbak Reksa yang sakit, sekolah nggak kebingungan membantu.”
Oh, iya, Bun. Kata Bu Guru, uang infaq dipakai buat jenguk teman yang sakit.” Reksa paham dengan arah pembicaraan saya.
Nah, tu kan? Nanti semuanya dimasukkan kotak, ya. Nggak papa kalau temannya ada yang satu lembar. Nggak harus sama.”
Ya, Bun.”
Selesai memasukkan uang ke saku, Reksa duduk di jok belakang. Kami lantas berangkat menuju sekolah.

Nominal uang yang sama bagi satu keluarga dengan keluarga lain jelas berbeda nilainya. Saya berharap Reksa bisa menempatkan dirinya. Jika memang dia mampu berbagi lebih banyak, jangan menyamakan diri dengan sekelilingnya. Karena Tuhan sudah sangat baik terhadap kita. Mengapa masih saja hitung-hitungan saat berbagi dengan sesamanya?

#KuliahBunsayIIP
#Tantangan10Hari
#Level8
#RejekiItuPastiKemuliaanHarusDicari
#CerdasFinansial

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL ANAK INDIGO MELALUI NOVEL

  Judul Buku : Misteri Anak Jagung Penulis : Wylvera Windayana Penerbit : PT. Penerbitan Pelangi Indonesia Cetakan : I, Januari 2013 Tebal Buku : 200 halaman Harga : Rp. 48.000,- Anda penasaran mengetahui siapa anak indigo itu, namun malas membaca buku The Indigo Children karya Lee Carroll dan Jan Tober? Saran saya, bacalah Misteri Anak Jagung. Novel remaja pertama yang ditulis oleh Wylvera Windayana ini mengisahkan tentang petualangan anak indigo dalam bingkai cerita misteri. Gantari – tokoh utama novel ini – sering dihantui oleh sosok Anak Jagung. Sosok itu seringkali muncul dalam mimpi-mimpinya. Sosok yang membuat Gantari penasaran sekaligus ketakutan. Selain muncul melalui mimpi, suara tangisan sosok misterius dari arah ladang jagung juga kerap mengusik telinganya. Apakah Legenda Anak Jagung yang diceritakan nenek Gantari itu benar-benar ada? Bersama Delia, Gantari berusaha mengungkap semuanya. Usaha mereka semakin terbuka saat

Kehidupan Binatang Laut

Hari ketiga saya tidak mendongeng. Tetapi menceritakan tentang kehidupan makhluk hidup di laut. Kebetulan Saka senang sekali jika kami menceritakan tentang fakta unik binatang. Dimulai dari binatang laut seperti ikan lumba-lumba. Saya bercerita pada anak-anak, bahwa lumba-lumba berbeda dengan ikan lainnya. Dalam berkembang biak, dia tidak bertelur. Tetapi beranak. "Berarti ikannya hamil ya, Bun?" tanya Reksa. "Iya." "Wah, podo Bunda," celetuk Saka. "Hehe..." Kami tertawa bersama. "Lumba-lumba juga menyusui, lho. Ada lubang di bagian bawah ikan yang bisa mengalirkan susu." jelas Saya. "Wah, keren, ya." Bu Lek Ida ikut takjub. "Kalau bernapas tidak menggunakan insang. Tapi menggunakan paru-paru. Makanya lumba-lumba sering muncul ke permukaan laut." "Lumba-lumba itu pinter ya, Bun?" tanya Reksa. "Iya, pinter. Bisa berhitung." Perbincangan kami pun melebar hingga ke pertunjukan lumba-lum

Bunda Belajar Mendongeng

Tadi siang saya mencoba belajar mendongeng. Pendengarnya hanya Saka karena Reksa sedang main ke rumah tetangga. Tidak memakai alat peraga. Cara mendongengnya pun tidak umum karena saya sambil tiduran di atas karpet. Saya memulai cerita tentang seekor binatang bernama “tokek”. “ Dek Saka, ngerti suarane tokek nggak?” Pertanyaan ini saya lontarkan, agar Saka paham tentang tokoh dalam dongeng yang akan saya ceritakan. Saka diam. “ Suarane meong-meong po yo?” “ Enggak. Itu suara.. Suara yang ada di rumah simbah. Suara kucing, yo” balas Saka. “ Oh, iyo yo. Suara kucing. Nek suara tokek ki seperti apa, dek?” Saka diam lagi. “ Suarane ki tekeeek-tekeeek.” “ Oh, suara itu, Ma. Aku ngerti. Pernah dengar suara itu di rumah lama,” ungkap Saka. Saya pun kemudian melanjutkan cerita tentang si tokek yang sedang berangkat ke sekolah. Dia berangkat jalan kaki saja. Tidak dianter sama bundanya. “ Kok nggak pake motor, Ma?” tanya Saka heran. “ Ya kan biar se