Langsung ke konten utama

Bingkisan Perekat Persaudaraan


Setiap bulan, keluarga kami menyisihkan sebagian rejeki untuk tetangga sekitar. Selain berwujud uang, rejeki yang dibagikan juga ada yang berupa sembako. Seperti beras, minyak, gula pasir, teh dan telur.

Kemarin saat saya sedang menata sembako, anak-anak melihat ada susu dan energen yang tergeletak di meja.
Bun, minta susu ini,” pinta Saka, sambil mengangsurkan susu kaleng warna putih.
Ini susu untuk Mas Parno. Jangan dibuka!” Saya melarang anak-anak membuka kaleng.
Halaaaah. Aku mana?” Saka protes.
Susu adek yang susu bubuk kae, lho!” Saya menunjuk stoples berisi susu bubuk coklat.
Emoh! Aku pengen ini,” rengek Saka.
Saya menghela napas. Belum selesai mengatasi satu anak, terdengar rengekan anak satunya.
Aku susu yang warna coklat ini, Bun,” pinta Reksa.
Itu susu untuk Mas Parno,” jawab saya singkat.
Yo wis, aku yang ini aja, Bun,” Reksa mengambil rentengan sachet energen warna hijau.
Itu juga punya Mas Parno.”
Halaaaah, kok semua milik Mas Parno? Aku mana?” Kini giliran Reksa yang protes.

Saya meletakkan hape. Mendekati mereka berdua.
Mbak, Mas Parno kurus. Maemnya kurang bergizi. Ini bunda belikan susu biar Mas Parno sehat. Kasihan kan, Mas Parno jarang minum susu?! Kalau Mbak Reksa sama adek kan sudah sering minum susu.” Saya menjelaskan alasan mengapa membelikan susu dan energen untuk Mas Parno.
Yo wis. Tapi, aku minta satu ya, Bun? Satu aja,” pinta Reksa.
Ho oh, Bun. Minta satu.” Saka ikut-ikutan berkomentar.
Saya melihat mata kedua anak saya. Mereka memahami apa yang saya katakan. Tetapi, sebagai mana anak-anak, mereka juga penasaran untuk mencicipi susu tersebut.
Ya. Satu aja, ya! Lainnya buat Mas Parno,” kata saya menyetujui permintaannya.
Horeeee..” sorak mereka berdua.

Sore itu, mereka membuka satu kaleng susu warna putih. Memang benar, mereka hanya penasaran dengan rasanya. Sementara susu kaleng warna coklat dan beberapa sachet energen saya masukkan bingkisan untuk keluarga Mas Parno.

Jelang maghrib, saya bersama anak-anak mengantar bingkisan ke tetangga. Bingkisan yang membuat keluarga kami dan tetangga semakin dekat. Semoga tetangga bahagia menerimanya, sebagaimana kami bahagia mengantarnya.

#KuliahBunsayIIP
#Tantangan10Hari
#Level8
#RejekiItuPastiKemuliaanHarusDicari
#CerdasFinansial

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGENAL ANAK INDIGO MELALUI NOVEL

  Judul Buku : Misteri Anak Jagung Penulis : Wylvera Windayana Penerbit : PT. Penerbitan Pelangi Indonesia Cetakan : I, Januari 2013 Tebal Buku : 200 halaman Harga : Rp. 48.000,- Anda penasaran mengetahui siapa anak indigo itu, namun malas membaca buku The Indigo Children karya Lee Carroll dan Jan Tober? Saran saya, bacalah Misteri Anak Jagung. Novel remaja pertama yang ditulis oleh Wylvera Windayana ini mengisahkan tentang petualangan anak indigo dalam bingkai cerita misteri. Gantari – tokoh utama novel ini – sering dihantui oleh sosok Anak Jagung. Sosok itu seringkali muncul dalam mimpi-mimpinya. Sosok yang membuat Gantari penasaran sekaligus ketakutan. Selain muncul melalui mimpi, suara tangisan sosok misterius dari arah ladang jagung juga kerap mengusik telinganya. Apakah Legenda Anak Jagung yang diceritakan nenek Gantari itu benar-benar ada? Bersama Delia, Gantari berusaha mengungkap semuanya. Usaha mereka semakin terbuka saat

Kehidupan Binatang Laut

Hari ketiga saya tidak mendongeng. Tetapi menceritakan tentang kehidupan makhluk hidup di laut. Kebetulan Saka senang sekali jika kami menceritakan tentang fakta unik binatang. Dimulai dari binatang laut seperti ikan lumba-lumba. Saya bercerita pada anak-anak, bahwa lumba-lumba berbeda dengan ikan lainnya. Dalam berkembang biak, dia tidak bertelur. Tetapi beranak. "Berarti ikannya hamil ya, Bun?" tanya Reksa. "Iya." "Wah, podo Bunda," celetuk Saka. "Hehe..." Kami tertawa bersama. "Lumba-lumba juga menyusui, lho. Ada lubang di bagian bawah ikan yang bisa mengalirkan susu." jelas Saya. "Wah, keren, ya." Bu Lek Ida ikut takjub. "Kalau bernapas tidak menggunakan insang. Tapi menggunakan paru-paru. Makanya lumba-lumba sering muncul ke permukaan laut." "Lumba-lumba itu pinter ya, Bun?" tanya Reksa. "Iya, pinter. Bisa berhitung." Perbincangan kami pun melebar hingga ke pertunjukan lumba-lum

Bunda Belajar Mendongeng

Tadi siang saya mencoba belajar mendongeng. Pendengarnya hanya Saka karena Reksa sedang main ke rumah tetangga. Tidak memakai alat peraga. Cara mendongengnya pun tidak umum karena saya sambil tiduran di atas karpet. Saya memulai cerita tentang seekor binatang bernama “tokek”. “ Dek Saka, ngerti suarane tokek nggak?” Pertanyaan ini saya lontarkan, agar Saka paham tentang tokoh dalam dongeng yang akan saya ceritakan. Saka diam. “ Suarane meong-meong po yo?” “ Enggak. Itu suara.. Suara yang ada di rumah simbah. Suara kucing, yo” balas Saka. “ Oh, iyo yo. Suara kucing. Nek suara tokek ki seperti apa, dek?” Saka diam lagi. “ Suarane ki tekeeek-tekeeek.” “ Oh, suara itu, Ma. Aku ngerti. Pernah dengar suara itu di rumah lama,” ungkap Saka. Saya pun kemudian melanjutkan cerita tentang si tokek yang sedang berangkat ke sekolah. Dia berangkat jalan kaki saja. Tidak dianter sama bundanya. “ Kok nggak pake motor, Ma?” tanya Saka heran. “ Ya kan biar se