Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2018

Beli Kiloan

Saya jarang stok roti/snack di rumah. Mengapa? Karena jika ada roti di rumah, anak-anak pasti lebih memilih roti dibanding makan nasi. Lagi pula, roti bukanlah kebutuhan. Jika memang lapar, ya lebih baik makan nasi. Namun, terkadang kita mesti mendadak beli snack karena ada tamu yang bertandang ke rumah. Nah, agar lebih hemat, saya memilih snack kiloan yang dijual di pasar. Dibanding snack yang kemasan kecil, snack kiloan jauh lebih murah. Selain lebih hemat anggaran, snack kiloan juga lebih hemat dalam penggunaan plastik. Misalnya kalau saya beli makaroni setengah kilo, itu hanya butuh bungkus plastik satu saja. Sementara, kalau beli makaroni kemasan, tidak ada yang setengah kiloan. Adanya yang 200 gram. Jadi, mau nggak mau saya harus beli dua atau tiga bungkus plastik. Bagi saya, cerdas finansial mesti didukung juga dengan kepedulian terhadap lingkungan. Saya memang belum bisa lepas 100% dari plastik, tapi saya berupaya mengurangi penggunaan plastik

Bingkisan Perekat Persaudaraan

Setiap bulan, keluarga kami menyisihkan sebagian rejeki untuk tetangga sekitar. Selain berwujud uang, rejeki yang dibagikan juga ada yang berupa sembako. Seperti beras, minyak, gula pasir, teh dan telur. Kemarin saat saya sedang menata sembako, anak-anak melihat ada susu dan energen yang tergeletak di meja. “ Bun, minta susu ini,” pinta Saka, sambil mengangsurkan susu kaleng warna putih. “ Ini susu untuk Mas Parno. Jangan dibuka!” Saya melarang anak-anak membuka kaleng. “ Halaaaah. Aku mana?” Saka protes. “ Susu adek yang susu bubuk kae, lho!” Saya menunjuk stoples berisi susu bubuk coklat. “ Emoh! Aku pengen ini,” rengek Saka. Saya menghela napas. Belum selesai mengatasi satu anak, terdengar rengekan anak satunya. “ Aku susu yang warna coklat ini, Bun,” pinta Reksa. “ Itu susu untuk Mas Parno,” jawab saya singkat. “ Yo wis, aku yang ini aja, Bun,” Reksa mengambil rentengan sachet energen warna hijau. “ Itu juga punya Mas Parno.” “ Halaaaah

Tidak Harus Sama

“ Bun, minta uang untuk infaq,” pinta Reksa sebelum berangkat ke sekolah. Setiap hari Jumat, anak-anak TK diajak belajar berbagi (infaq) di sekolah. “ Oh, ya.” Saya masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet. Saya mencari uang lima ribuan, tetapi tidak ada. Saya coba membuka dompet ayah. Berharap menemukan lembaran warna coklat. Ternyata tidak ada juga. Akhirnya, saya mengambil uang dua ribuan tiga lembar. Saya serahkan uang tiga lembar tersebut pada Reksa. “ Kok tiga , Bun?” Reksa heran saat menerima uang tersebut. “ Iya. Bunda tidak punya uang lima ribuan. Jadi, Mbak infaq dua ribuan tiga , ya.” Reksa mengamati lembaran uang itu. “Satu aja gapapa, Bun. Temanku kebanyakan infaqnya yang kayak gini. Satu tok.” “ Ya, biar saja yang lain satu. Mbak Reksa infaqnya tiga .” “ Kok tiga , Bun?” tanya Reksa kebingungan. Saya diam sejenak. Memikirkan jawaban yang pas atas pertanyaan Reksa. “ Mbak kalau dikasih uang banyak seneng nggak?” Saya memulai jawaban deng

Menabung dan Tanggung Jawab Reksa

Bagi keluarga kami, semua hal yang berkaitan dengan sekolah adalah tanggung jawab anak. Saya sebagai ibu hanyalah memfasilitasi saja. Seperti mengantar jemput, memastikan bekal makanan selalu tersedia dan menyiapkan uang untuk menabung maupun infak. Konsekuensi dari hal ini, anak mau nggak mau harus pandai memanajemen dirinya sendiri. Jika tidak, dia sendiri yang akan menanggung akibatnya. Contoh kasus, perihal menabung. Jadwal menabung di sekolah adalah hari senin dan kamis. Bunda akan menyiapkan uangnya jika Reksa meminta pada Bunda di pagi harinya. Jika Reksa tidak meminta, Bunda juga tidak menyiapkannya. Pada suatu hari Reksa bilang bahwa tadi saat sekolah dia lupa tidak menabung. “ Bunda ki pasti lupa. Tadi tu harusnya nabung, Bun. Kan hari Senin,” protes Reksa. “ Ya kan Mbak Reksa nggak minta. Ya Bunda juga nggak ngasih. Lagian Mbak Reksa kan tau kalau Bunda sering lupa. Jadi, Mbak Reksa yang harus mengingatkan Bunda,” timpal saya. “ Ya udah, Bun. Saya

Masyarakat Cerdas Finansial

“ Reksaaaa, aku bareng, ya.” Sebuah suara memanggil dari seberang jalan. Reksa yang sedang berjalan ke arah saya pun menoleh. “Ya. Ayo, Mbak Put!” Teman yang dipanggil pun setengah berlari mengejar Reksa, hingga keduanya jalan berjejeran. Tak lama kemudian mereka sudah berada di samping motor saya. “ Mbak Putri mau bareng?” Saya bertanya untuk memastikan. “ Iya, Bun.” “ Ya. Sini tas-nya Mbak Reksa dibawa Bunda aja.” Reksa mengangsurkan tasnya dan kemudian duduk di jok belakang bersama Putri. Selain saya dan kedua anak ini, masih ada Saka di jok depan. Jadi, total semuanya ada empat orang. Satu dewasa dan tiga anak. Hehehe.. Dari awal Reksa sekolah, saya memang sering menawarkan boncengan sama teman Reksa yang belum dijemput. Alasan mendasar dari pilihan tindakan saya ini adalah efisiensi. Dengan memboncengkan teman Reksa, saya ikut membantu menghemat waktu, biaya dan tenaga ibu anak tersebut. Memang perjalanan saya agak muter dikit. Tapi itu lebih baik

Hemat Listrik

Sehabis lari keliling alun-alun, ayah minta dibuatkan es teh. Saya pun mengambil gelas dan beranjak ke rumah lama. Kebetulan kulkas keluarga kami lberada di rumah lama karena tidak cukup jika ditaruh di rumah baru. Sesampainya di depan kulkas, saya kaget karena freezer tidak ditutup rapat. Sewaktu saya cek kondisinya, ternyata semua es yang ada di dalamnya sudah mencair. Tidak ada satupun es yang membeku. Bahkan kulkas yang biasanya anteng, saat itu berbunyi cukup keras. Itu tandanya, kulkas sedang membutuhkan energi yang besar untuk mendinginkan freezer yang terlanjur kebuka pintunya. Saya pun kembali ke rumah. Bilang sama ayahe perihal ini. “ Kayake yang terakhir kali nutup ki Saka,” ucap Ayah mengingat kejadian hari sebelumnya. “Pas Saka le nutup banter banget kae, lho.” “ Oh. Pas kae to?” Saya lupa-lupa inget persisnya. Hanya mengingat suara kulkas dibanting keras sekali. Saya kemudian mendekati Saka. “Besok lagi kalau nutup pelan saja, ya. Kalau ba

Mengapa Tidak Boleh Jajan Tiap Hari?

Malem minggu kami sekeluarga berniat makan di luar. Berhubung tidak begitu lapar, kami memilih Endy Steak sebagai tempat makan malam kami. Tahu bahwa kami akan makan di luar, anak-anak langsung antusias. Hahaha.. Maklumlah, sehari-harinya hampir 24 jam kami di rumah. Bisa keluar malam sembari makan di luar, menjadi sebuah hal yang menakjubkan bagi kami. Sesampainya di lokasi, anak-anak langsung minta dibelikan milkshake. Awalnya, Saka minta yang rasa strawberry dan Reksa minta rasa coklat. Tentu saja mereka akan minta tanpa pertimbangan seberapa besar perut mereka. Saya pun meminta satu saja untuk berdua. Jadilah, anak-anak pesan yang rasa coklat. Untuk makanan, anak-anak memilih sendiri paket happy yaitu paket manakan yang berisi kentang, sosis, nuget dan sayuran. Sementara saya dan ayah memilih steak kesukaan kami masing-masing. Setelah menunggu lima belas menit, minuman pun datang lebih awal. Sementara menunggu makanan datang, kami berbincang santai.

Bunda Pelit

“ Ma, rasane aku pengen susu je,” ucap Saka di pagi saat saya sedang beberes rumah. “ Susunya habis, Dek.” Memang sudah seminggu ini susu di rumah habis. Saya sengaja tidak membelikan lagi karena susu bagi keluarga kami hanyalah buat rekreasi saja. Jika anak-anak ingin dan kami ada uang, ya kami belikan. Jika merek tidak menginginkan, ya nggak perlu. “ Ayo beli di Aslamat, Ma!” ajak Saka. “ Ya, nanti kalau Bunda selesai beberes, ya. Sekalian jemput, Mbak Reksa.” Biasanya saya memang kemana-mana sekali jalan karena jarak rumah kami ke toko terdekat cukup jauh. Seumpama pada hari aktif, ya saat mau ke toko sekalian jemput Reksa. Kadang juga malah sekalian kirim paket di kantor pos atau armada pengiriman yang lain. “ Belinya susu bubuk aja lho, ya. Enggak beli jajan lainnya.” “ Halah, Ma,” rengek Saka. “ La gimana? Mau enggak? Kalau nggak mau ya sudah. Pekerjaan rumah selesai ketika jarum menunjukkan pukul sepuluh lebih empat puluh lima menit. Bersa

Semua Ini Rejeki dari Tuhan

Pagi hari saat akan mengantar Reksa ke sekolah, saya mendengar suara burung bercuit. Bukan cuitan dari burung peliharaan, tapi cuitan burung yang biasa hinggap di pepohonan sekitar rumah kami. Meski sudah biasa, saya selalu bahagia mendengarkannya. “ Wuih, suara burungnya bagus ya, Mbak. Bersyukur, kita hidup disini. Nggak harus piara burung, udah denger suaranya tiap hari.” Saya memulai obrolan sambil mengeluarkan motor dari garasi. “ Iya, Bun. Bersyukur banget, yo.” Reksa mengiyakan omongan saya. “ Bisa mendengarkan suara burung ki rejeki dari Tuhan loh, Mbak.” Reksa menghentikan ikatan sepatunya. Dia menaghadap ke arah saya. “Rejeki?” “ Iya. Kan Tuhan yang mengirim burung itu kesini. Reksa seneng kalau ada banyak burung di sekitar sini?” “ Yo jelas seneng banget, Bun,” ungkapnya sumringah. “ Bunda juga seneng. Alhamdulillah, rumah kita disini. Masih banyak pepohonan. Masih banyak burung.” Saya melihat alam di sekitar rumah. Bersyukur dengan anuge

Bunda Belajar Mendongeng

Tadi siang saya mencoba belajar mendongeng. Pendengarnya hanya Saka karena Reksa sedang main ke rumah tetangga. Tidak memakai alat peraga. Cara mendongengnya pun tidak umum karena saya sambil tiduran di atas karpet. Saya memulai cerita tentang seekor binatang bernama “tokek”. “ Dek Saka, ngerti suarane tokek nggak?” Pertanyaan ini saya lontarkan, agar Saka paham tentang tokoh dalam dongeng yang akan saya ceritakan. Saka diam. “ Suarane meong-meong po yo?” “ Enggak. Itu suara.. Suara yang ada di rumah simbah. Suara kucing, yo” balas Saka. “ Oh, iyo yo. Suara kucing. Nek suara tokek ki seperti apa, dek?” Saka diam lagi. “ Suarane ki tekeeek-tekeeek.” “ Oh, suara itu, Ma. Aku ngerti. Pernah dengar suara itu di rumah lama,” ungkap Saka. Saya pun kemudian melanjutkan cerita tentang si tokek yang sedang berangkat ke sekolah. Dia berangkat jalan kaki saja. Tidak dianter sama bundanya. “ Kok nggak pake motor, Ma?” tanya Saka heran. “ Ya kan biar se

Ketika Saka Ingin Jajan

“ Ma, rasane aku pengen jajan je.” Saka memulai percakapan saat saya sedang menyapu lantai. Saya tetap meneruskan pekerjaannya. Tidak begitu memperhatikan apa yang diucapkan Saka. Lebih tepatnya, saya enggan membahas perihal jajan lebih jauh. “ Ma, aku pengen jajan. Ayo, beli ke Mas Pangat, Ma!” Saka mulai merengek. Saya menaruh sapu dan mendatangi Saka. Memegang kedua tangan dan menatap mata Saka. “Dek, kalau laper, makan nasi. Bukan jajan.” “ Emoh. Aku bosen,” rengek Saka mulai menangis. “ Jajan itu boleh. Tapi tidak setiap hari. Kemarin kan adek Saka sudah dibelikan es krim sama Bunda. Ya sudah, jangan jajan lagi. Uangnya ditabung dulu.” Saya menjelaskan panjang lebar. “ Huhuhu...” tangis Saka semakin keras. Bunda membiarkan Saka menangis beberapa saat. Setelah cukup menangisnya, Bunda mendatangi Saka. “Adek Saka mau dibuatkan teh anget atau air putih saja?” “ Teh anget, Ma,” jawab Saka. “ Ya. Bunda buatkan teh, ya.” Saya pun beranjak mengam

Aliran Rasa Game Level 7

Game level 7 sudah berlalu. Saat ini bahkan sudah memasuki game level 8. Dan saya baru menuliskan aliran rasa ini. Ya ampun, kemana saja saya kemarin? Sedih jika mengingatnya. Kuliah bunda sayang level 7 saya jalani dengan kurang bersemangat. Masa itu adalah masa dimana kondisi psikis saya lelah setelah sebulan terakhir berjibaku dengan promosi buku Happy Moms. Topik bahasan level 7 yang mengangkat tema “semua anak adalah bintang” adalah tema yang bagus. Dalam tema bahasan itu, saya sebagai orang tuanya diminta jeli mengamati keistimewaan anak. Ya, saya memang mengamatinya. Tentu saja pengamatan saya adalah pengamatan serampangan alias sambil lalu. Saat melihat anak senang memberi makan hewan, saya melihat bahwa anak saya sayang hewan. Saat melihat anak saya bebikinan, saya melihat bahwa anak saya punya sisi kreativitas yang perlu diasah. Pun saat melihat anak saya bermain peran, saya melihat anak saya imajinasinya berkembang baik. Kendala dari game ini